Sabtu, 12 Maret 2011

Tanya Jawab Seputar Aborsi

"TANYA JAWAB SEPUTAR ABORSI UNTUK KORBAN PEMERKOSAAN DAN KORBAN HUBUNGAN INTIM SEDARAH"

1. Apakah aborsi diperbolehkan untuk korban perkosaan?

Pemerkosaan adalah kejahatan terburuk yang menimpa wanita. Para korban sangat membutuhkan bantuan dan dukungan kita. Kita perlu memberikan perlindungan dan bantuan yang lebih pada mereka. Tetapi aborsi, seperti juga pemerkosaan, adalah sebuah tindakan yang menghancurkan. Tindakan menggugurkan janin hasil pemerkosaan adalah seperti menjawab kekejaman atas seorang wanita yang tak berdosa (yaitu korban pemerkosaan) dengan kekejaman atas satu korban yang tak berdosa juga. Aborsi selalu menyebabkan hilangnya kehidupan manusia.

2. Apakah kehidupan manusia benar-benar dimulai saat kehamilan dinyatakan?

Ya. Manusia yang unik langsung mendapatkan kehidupannya sesaat setelah telur manusia bertemu dengan sperma manusia (proses ini disebut konsepsi atau pembuahan). Hasil pembuahan ini (disebut sel) langsung memiliki karakteristik tersendiri yang merupakan hasil dari perpaduan genetik orang tuanya, seperti warna bola mata janin, warna rambut dan kulit, roman muka dan bentuk tubuh janin, bahkan penyakit-penyakit turunan seperti diabetes menurun padanya di tahap lanjut kehidupannya. Setelah pembuahan, perkembangan janin terjadi sangat cepat. Dalam waktu 4 minggu, otak, tulang punggung dan susunan syaraf telah terbentuk. Jantung janin pun telah berdetak.

3. Apakah kehamilan akibat kasus pemerkosaan sering terjadi?

Konsepsi hasil pemerkosaan boleh dibilang amat jarang terjadi. Banyak studi kasus yang menyatakan hal ini. Tetapi, tidak menutup kemungkinan adanya kehamilan setelah seorang wanita diperkosa.

4. Kenapa kehamilan akibat kasus pemerkosaan amat jarang terjadi?

Ada beberapa hal yang dapat dipertimbangkan. Pertama, mungkin si wanita memang tidak dalam masa suburnya, maksudnya sudah memasuki masa menopause atau mungkin juga terlalu muda (belum mendapatkan haid pertama kalinya). Kedua, mungkin si wanita menggunakan alat kontrasepsi atau menjalani sterilisasi. Faktor ketiga, trauma dan ketakutan serta perlawanan saat pemerkosaan terjadi mungkin menyebabkan terjadinya perubahan mekanisme tubuh yang mengurangi kemungkinan kehamilan seperti perubahan hormon, pengerutan tuba falopi (jalan telur ke rahim) yang dapat menggagalkan ovulasi ataupun pembuahan. Pemerkosaan tidak selalu berupa hubungan intim yang komplit. Mungkin ejakulasi (keluarnya sperma) tidak terjadi, atau mungkin juga si pemerkosa tidak subur. Kemungkinan terjadinya konsepsi dari sebuah hubungan intim sukarela dan bahkan dari dua orang yang subur hanya diperkirakan sebesar 2-4%.

5. Dapatkah kehamilan dicegah pada kasus pemerkosaan?

Dapat. Saat seorang wanita diperkosa, ia harus segera mencari pertolongan medis. Karena adanya tenggang waktu antara ejakulasi dan pembuahan, pencegahan terjadinya konsepsi masih bisa dilakukan, semisal dengan menggunakan spermicidal untuk membunuh sperma si pemerkosa atau dengan meminum pil hormon untuk mencegah terjadinya ovulasi.

6. Berapa sering pemerkosaan dijadikan alasan dilakukannya aborsi?

Di Australia, hanya di belahan selatannya saja yang memiliki data aborsi. Statistik mencatat kurang dari 0.1% aborsi dilakukan karena kejahatan pemerkosaan. Sekiranya persentase ini yang kita gunakan untuk kira-kira 80.000 kasus aborsi dalam setahun yang terjadi di Australia, maka kria-kira sebanyak 80 kasus aborsi terjadi karena kejahatan pemerkosaan di Australia.

7. Apakah aborsi adalah keputusan terbaik untuk wanita yang hamil karena perkosaan?

Tidak. Aborsi tidak membantu si wanita untuk menghilangkan trauma perkosaan. Karena tindakan pengguguran kandungan itu sendiri dapat mengakibatkan luka jiwa yang hanya menambah beban derita korban. Pendapat masyarakat bahwa aborsi adalah keputusan terbaik bagi korban pemerkosaan yang hamil mencerminkan masyarakat yang melihat korban sebagai "tidak bersih" dan karenanya harus "dibersihkan dari noda pemerkosaan" dengan jalan aborsi. Masyarakat harus sadar, rasa marah, bersalah, takut, tidak percaya diri akibat menjadi korban pemerkosaan akan terus menghantui korban.

8. Apakah wanita korban pemerkosaan yang hamil selalu menginginkan aborsi?

Tidak. Tetapi opini, sikap dan kepercayaan masyarakat seringkali membuat korban sulit untuk memilih kemungkinan lain selain ingin cepat-cepat menggugurkan kandungannya. Takut disalahkan dan dibuang oleh keluarganya, teman-temannya atau lingkungannya membuat korban ingin bersembunyi dengan cara membuang bukti nyata kejahatan pemerkosaan.

9. Apakah wanita membenci anak yang dilahirkannya karena kejahatan pemerkosaan?

Bulan-bulan pertama kehamilan, mungkin tumbuh rasa benci dan menolak kehadiran janin dalam kandungannya. Dalam studi kasus kehamilan pada korban-korban pemerkosaan, Dr. Susan Mahkorn menemukan bahwa sikap negatif yang mula-mula muncul secara perlahan akan berubah menjadi sikap positif, sikap menerima kehamilan dan akhirnya saat mereka melahirkan anaknya, sikap menyayangi anak. Dalam waktu-waktu itu, juga muncul rasa percaya diri korban.

10. Apakah adil bagi si wanita korban pemerkosaan untuk meneruskan kandungannya?

Pemerkosaan adalah ketidakadilan terbesar pada wanita. Tetapi ketidakadilan yang lebih besar terjadi jika janin yang juga merupakan korban hasil pemerkosaan turut dibunuh.

11. Jika disebutkan kehamilan akibat kejahatan pemerkosaan amat jarang, mengapa tidak dilegalkan saja aborsi untuk korban pemerkosaan?

Selain fakta bahwa bayi-bayi yang tak bersalah akan terbunuh, hukum ini akan menemui kesulitan jika dijalankan. Jika seorang wanita mengaku diperkosa dan oleh karenanya hendak melakukan aborsi, dapatkah wanita ini memberikan bukti nyata kalau ia diperkosa? Haruskah ia melaporkan pemerkosaan dirinya pada polisi? Berapa lama setelah kejadian ini si wanita dapat mengajukan permohonan pengguguran kandungan?

12. Apakah tidak terasa kejam untuk meminta korban pemerkosaan yang hamil untuk melahirkan anaknya?

Pada dasarnya seorang wanita memiliki rasa keibuan yang alami. Jauh di lubuk hatinya selalu ada kasih dan kekuatan. Keputusan untuk melahirkan anak adalah keputusan untuk membawa sesuatu yang baik keluar dari sesuatu yang kelihatannya jahat. Keputusan ini adalah kemenangan atas kejahatan pemerkosaan. Keputusan ini akan membawa si wanita untuk selalu mengingat keberanian dan kemurahan hatinya, dibandingkan ketakutan dan rasa malunya.

13. Bagaimana dengan kehamilan sebagai korban hubungan sedarah (incest)?

Janin hasil hubungan sedarah sama kedudukannya dengan janin hasil kejahatan pemerkosaan. Janin itu juga manusia, yang seperti kita juga, tidak dapat menolak kehadirannya di dunia ini. Mengapa hak hidup seseorang diakhiri padahal ia sendiri tidak dapat memilih cara kehadirannya di dunia ini?

14. Berapa sering kehamilan akibat hubungan sedarah terjadi?

Tidak ada yang dapat mengetahui secara pasti. Sepertinya incest lebih jarang terjadi dibanding hubungan intim yang normal. Biasanya korban masih muda dan trauma kejadian ini dapat memberhentikan siklus bulanannya.

15. Apakah aborsi merupakan jalan terbaik bagi para korban incest?

Incest sebenarnya persoalan keluarga yang sangat kompleks. Mungkin dengan hamilnya korban dapat merupakan bukti nyata akan kejadian yang selama ini ditutup-tutupi. Kehamilan ini juga dapat membawa korban keluar dari lingkaran yang menakutkannya. Jika dilakukan aborsi, si korban akan makin merasa bersalah dan trauma.

16. Apakah korban hubungan sedarah yang hamil lebih memilih aborsi?

Tidak. Dalam studi kasus ini oleh Dr. George Maloof di Amerika, sejumlah besar korban incest tidak ingin melakukan aborsi. Jika mereka melakukan aborsi, juga dikarenakan tekanan dari si pelaku (biasanya ayahnya atau ayah tirinya), guna menghilangkan bukti kelakuannya. Sedangkan untuk korban pemerkosaan yang hamil, keputusan aborsi biasanya diambil karena tekanan orang-orang di sekitar korban atau karena kehamilan yang sulit. 17. Apakah bayi-bayi hasil hubungan sedarah selalu cacat? Bahaya cacat memang tinggi, tetapi banyak yang melahirkan bayi-bayi sehat. Lalu, mengapa bayi-bayi tak bersalah harus dibunuh karena cacat atau kemungkinan cacat?

(diterjemahkan dari leaflet keluaran Foundation for Human Development, Sydney, Australia)

Terima kasih tidak menggugurkan Julie

"Kesaksian: Terima kasih untuk tidak menggugurkan Julie..."

Umurku baru 17 tahun saat aku meninggalkan rumah dan kedua orangtuaku yang pemabuk di Philadelphia, Amerika, untuk pindah ke San Francisco. Aku mendapatkan pekerjaan di sebuah kantor di sana dan aku merasa yakin, masa depanku akan menjadi sangat berbeda dari masa laluku. Tetapi saat itu aku masih belia. Aku tidak pernah berkencan dan sedikit mempunyai kenalan. Maka saat teman-teman kantorku mengatakan ada undangan pesta makan pizza, aku memutuskan untuk ikut bergabung.

Saat aku tiba, tidak tampak seorang pun di sana, kecuali aku dan si pemilik rumah yang bekerja di departemen lain di kantorku. Belakangan baru kuketahui kalau ia telah membatalkan pesta pizza malam itu. Dia 30 tahun lebih tua dariku dan bertubuh kekar. Dia tinggi, berjanggut dan bertubuh gemuk. Dalam hitungan menit, ia berhasil memperkosaku. Aku belum pernah berhubungan intim sebelumnya, inilah kali pertamaku.

Setelah kejadian itu, aku tertatih-tatih berjalan pulang ke rumah dengan perasaan takut, terhina dan malu. Saat itu belum ada Pusat Krisis atau Telepon Pertolongan yang dapat dihubungi untuk mengurangi trauma yang kualami. Karena malu dan tertekan, aku pun tidak melaporkan kejadian ini pada polisi setempat. Saat kuketahui kalau aku mengandung, aku pindah ke Los Angeles tanpa memberitahukan keadaanku pada siapa pun. Aku tingal bersama sepasang lansia sampai bayiku lahir. Pada waktu itu, sementara kalangan mengatakan adalah lebih baik untuk segera memisahkan bayi yang hendak diadopsi dari ibu kandungnya. Kupikir mereka merasakan apa yang tidak dapat dilihat dengan mata dan apa yang tidak dapat dirasakan dalam hati.

Tak akan pernah kulupakan saat-saat aku baru keluar dari ruang operasi dan diberitahukan kalau aku telah melahirkan bayi perempuan cantik dan sehat. Aku tak pernah diberikan kesempatan sebentar pun untuk melihat dia atau memeluknya. Tak pernah sehari pun aku tidak memikirkan keadaan bayi perempuanku yang telah kulahirkan ke dunia. Tetapi aku tidak juga pernah berpikir untuk mencarinya. Aku tidak mau merusak kehidupannya. Kuakui, terkadang aku berpikir kalau Tuhan akan memberikan kesempatan untukku bertemu dengannya.

Dua tahun yang lalu, hal ini betul-betul terjadi. Tak akan pernah kulupakan telepon pertama yang kuterima dari anakku. Dia mengatakan namanya Julie Makima dan dia sedang berusaha terus mencari keberadaanku. Dia berumur 17 tahun. Katanya, orang tua angkatnya telah memberikan salinan surat adopsinya. Kata Julie, setelah ia mengetahui namaku, ia langsung menghubungi satu per satu orang yang bernama sama dari rumahnya di Michigan. Kata Julie, sekarang dia berumur 20 tahun dan telah menikah serta dikaruniai dua orang anak.

Jantungku berdebar kencang saat kami memutuskan untuk bertemu disuatu tempat. Aku ingat, aku lalu mereka-reka apa yang akan ia tanyakan tentang ayahnya. Dapatkah saya katakan kalau ayahnya adalah seorang pemerkosa? Suamikulah yang meyakinkanku kalau Julie harus mengetahui seluruh cerita mengenai kelahirannya. Suamiku jugalah yang menelepon suami Julie, Bob, dan menceritakan segalanya. Bob yang lalu menceritakannya pada Julie. Kami bertemu sebulan setelah kuterima telepon pertamanya. Tak ada kata yang dapat melukiskan perasaanku saat Julie memasuki kamar hotelku. Inilah anak yang kurindukan bertahun-tahun, anak yang telah memberikanku dua cucu, Casey (3 tahun) dan Herb (1 tahun). Dia memelukku. Kami menangis.

Bob berkata dengan mesra: "Terima kasih untuk tidak menggugurkan Julie. Apalah jadinya hidupku tanpa dia?" Bob jugalah yang mendorongku untuk menulis bukuku, The Missing Piece (Potongan yang Hilang), yang menceritakan tentang kelahiran Julie, tahun-tahunku tanpa dia dan kebahagiaan pertemuan kami. Ditemukannya anakku telah memperkaya kehidupanku. Pasangan yang mengadopsinya, Eileen dan Harold Anderson, adalah orang-orang yang sangat ramah. Julie, Eileen dan aku telah berbicara untuk beragam grup tentang apa yang terjadi pada kami. Kupikir, pesanku adalah: Seperti kejadian-kejadian buruk dapat menimpa orang-orang yang baik, akan ada sesuatu yang indah yang lahir dari kejahatan. Julie adalah buktinya. (diterjemahkan secara bebas dari situs Pro Life, USA)

Kematian Tragis Marla

"Kesaksian: Kematian Tragis Marla"

Ibunda Marla, Deborah Cardamone, menceritakan kejadian sesungguhnya.

Anakku, Marla, baru berusia 18 tahun saat ia akhirnya memutuskan untuk menjalani aborsi di rumah sakit khusus wanita yang ternama. Sebenarnya, ia telah merencanakan untuk melahirkan anaknya dan memberikan bayi itu untuk diadopsi, tetapi pekerja sosial di rumah sakit itu memaksanya untuk menggugurkan kandungannya.

Pekerja sosial itu mengatakan kalau Marla telah membuat bayinya cacat karena ia sering meminum obat anti-depresan. Meskipun angka statistik menunjukkan 92% kemungkinan bayi akan selamat dari cacat karena meminum banyak obat anti-depresan, Marla tetap menjalani serangkaian tes untuk memastikan kesehatan anaknya. Setelah mendapatkan hasil USG, si pekerja sosial di rumah sakit itu tetap memaksa Marla untuk melakukan aborsi. Akhirnya, Marla menyerah dan memutuskan untuk menggugurkan kandungannya.

Hari saat Marla melakukan aborsi, ketakutan mulai menjalar di tubuhku. Aku takut akan keselamatan Marla, meskipun aborsi dilakukan di rumah sakit terkemuka. Pastilah ia berada di tempat yang aman. Tetapi aku tidak tenteram. Cucuku akan segera mati.

Kira-kira pukul 13.00 siang itu, seorang perawat mendorong Marla masuk ke ruang pemeriksaan dan mulai memasukkan obat mulas ke dalam rahim Marla. Mereka juga mulai menginduksi. Hingga malam pukul 23.00, aborsi belum juga selesai dilakukan. Aku ingin tetap berada bersama Marla, tetapi ia memaksaku pulang karena sudah terlalu malam. Aku menciumnya dan berkata, "Aku mencintaimu…. Sampai bertemu besok pagi." Itulah kali terakhir aku melihatnya hidup.

Pukul 09.15 pagi keesokan harinya, aku menerima telepon dari bagian ICU rumah sakit itu. Seorang perawat mengatakan, "Sesuatu berjalan salah. Marla dalam keadaan serius!" Aku segera menuju ke rumah sakit dan berlari ke bagian ICU. Dua kali dokter yang menangani Marla keluar dari kamar dan menanyakan serangkain pertanyaan mengenai Marla. Setiap kali aku bertanya untuk menjenguknya, setiap kali pula aku dilarang oleh petugas rumah sakit. Lalu, ruangan tempatku menunggu tiba-tiba seperti diisi oleh kabut putih yang tebal. Seorang dokter duduk disebelahku sambil memegang tanganku. "Anakku telah mati. Betul kan?" Dokter itu hanya mengangguk. "Tidak… tidak… tidak mungkin!" teriakku sambil menangis. Marla yang malang. Aku tidak percaya hal ini terjadi. Dadaku menjadi sesak. Aku tidak dapat mengendalikan diri lagi. Berita duka ini telah merobek hati dan jiwaku dan hampir saja menyedot hidupku.

Akhirnya, mereka memperbolehkan saya menjenguk Marla. Saat aku memasuki kamarnya, aku tidak dapat mempercayai apa yang kulihat. Marla-ku sayang terbaring disana dengan muka yang menakutkan, hampir-hampir tak dapat kukenali lagi. Selang masih dipasang di mulutnya dan aku dapat melihat darah menutupi gigi dan gusinya. Matanya setengah terbuka, bagian putih dari bola matanya kini menjadi kuning tua. Mukanya bengkak dan berwarna ungu tua. Bagian kiri dari wajahnya terlihat seperti orang yang baru terkena stroke. Yang kuinginkan saat itu adalah memeluknya. Tetapi, yang kulakukan adalah mengambil tangannya dan memberikan ciuman perpisahan.

Bagaimana mungkin ini terjadi pada Marla? Satu-satunya cara untuk mengetahui kebenaran adalah dengan menggugat rumah sakit itu. Aku berjanji untuk tidak menjadikan kematian Marla hanya sebatas angka statistik. Kami menemukan fakta bahwa kematian Marla disebabkan oleh teknik aborsi yang salah. Ia terserang septicemia - infeksi darah - yang berlangsung dengan cepat. Dalam waktu kurang dari 24 jam, nyawa anakku hilang. Kami juga mengetahui bahwa pekerja sosial yang menyarankan aborsi pada Marla sebenarnya tidak pernah melihat hasil USG yang dilakukan Marla maupun mendiskusikan hasil USG itu dengan Marla. Marla sendiri tidak pernah diberikan hasil USG dan laporan pemeriksaan bayinya yang tertulis: "Tidak ditemukan kelainan." Jika Marla mengetahui hasilnya, pastilah ia tidak mau melakukan aborsi.

Saat sekarang, aku masih sering memandangi foto mendiang anakku dan berujar, "Mengapa?" Aku memandangi matanya yang indah dan ini membuatku benar-benar sedih. Rasanya baru kemarin ia berdiri disini, tersenyum, tertawa dan mengisi hidupku. Marla seorang yang baik hati dan ia mau membagikan kebahagiaannya pada dunia, tetapi sekarang ia tidak bisa lagi. Hidupnya telah diputus. Kejadian ini benar-benar tidak diharapkan. Kami tidak akan pernah melihatnya kembali. Secara tiba-tiba, ia pergi, dan ia baru berusia 18 tahun.

Tolonglah aku, buatlah aku yakin kalau anakku dan cucuku tidak akan pernah terlupakan. Tolonglah aku untuk menyebarkan pengalaman Marla ini ke seluruh dunia. Para wanita perlu diperingati supaya tidak terulang lagi kejadian serupa. Dengan bantuan Anda, kita dapat menyelamatkan para ibu dan anak-anaknya. Anda dapat membuat perbedaan. Aborsi bukan pilihan terbaik. Tolonglah aku untuk menyebarkan berita ini. Terima kasih. Hormat saya, Deborah Cardamone (Ibunda Marla)

Sel Tunas vs Awal Kehidupan

"Sel Tunas vs Awal Kehidupan"

Tentu tidak Kapan kehidupan manusia dimulai merupakan topik yang banyak dibahas para ahli agama, filsuf, ahli hokum/pembuat undang-undang, dan komite etik kedokteran. Hal ini penting karena jawabannya punya implikasi besar bagi evaluasi etik terapi medis yang menggunakan jaringan janin (misalanya pengobatan leukemia, penyakit Parkinson), penelitian dasar maupun terapan kedokteran dengan stem cell (sel tunas) dari embrio.
Kontroversi mengenai awal kehidupan manusia di negara mau menghambat laju penelitian sel tunas. Akibatnya, banyak penelitian didanai oleh perusahaan yang bersifat komersial. Bisa dipastikan, biaya terapi akan mahal untuk mengembalikan investasi plus keuntungan.

Tentangan terbesar berasal dari Gereja Katolik dan Protestan, yang menyatakan bahwa kehidupan dimulai sejak konsepsi, yaitu saat pertemuan sel telur dengan sperma. Sementara ajaran Yahudi, Buddha, dan Islam meski berbeda hitungan waktunya sama-sama berpendapat bahwa kehidupan baru dimulai setelah adanya "kesadaran" atau roh.
Pada diskusi yang diselenggarakan Pew Forum on Religion & Public Life, Amerika Serikat, sebagaimana dipublikasikan di situs web forum itu, Ketua The Wilberforce Forum Dr Nigel Cameron menentang semua bentuk kloning manusia berdasarkan kepercayaan Protestan konservatif. "Kloning embrio manusia akan menjadi dasar pembuktian bagaimana kita sebagai umat menjaga martabat manusia" ujarnya. Presiden The Culture of Life Foundation Robert Best juga menentang segala bentuk kloning demi menjaga kesucian hidup manusia sejak konsepsi sampai kematian.

Rabbi Moses Tendler, Guru Besar Biologi dan Etika Kedokteran Yahudi dari Universitas Yeshiva, menentang kloning manusia, namun bisa menolerir kloning terapeutik. Menurut Tendler, manusia wajib menyembuhkan penyakit. Selain itu, ajaran Yahudi berpandangan bahwa kehidupan manusia baru dimulai 40 hari setelah konsepsi.
Pandangan serupa juga diyakini Muslim Suni, demikian Prof Abdulaziz Sachedina, Guru Besar Kajian Agama dari Universitas Virginia. Karena itu, Sachedina tidak keberatan penggunaan embrio untuk penelitian. Tentang kloning manusia, Sachedina mengingatkan, hal itu akan mengacaukan hubungan kemasyarakatan.

Di sisi lain, sel tunas yang didapat dari embrio yang dihentikan pada tahap blastosit, embrio yang berupa kelompok sel dalam rongga yang dilingkupi sel selubung, merupakan harapan besar dalam upaya penyembuhan pelbagai jenis penyakit. Sel selubung akan berkembang menjadi plasenta, sedang sel bagian dalam berkembang menjadi pelbagai organ tubuh (sel pluripotent). Sel pluripotent ini yang diteliti untuk diarahkan menjadi pelbagai jaringan organ tubuh. Jika penelitian berhasil, banyak penyakit, bisa diatasi dengan mengganti jaringan yang rusak.


(Diambil dari Kompas, 8 Agustus 2002)

Pengakuan Seorang Dokter

Pengakuan Seorang Dokter Aborsi
Oleh: dr. Bernard Nathanson

Saya pribadi bertanggungjawab atas 75.000 aborsi. Hal ini membuat saya memiliki kredit tersendiri untuk berbicara dengan Anda dalam kasus aborsi. Saya termasuk salah satu pendiri National Association for the Repeal of the Abortion Laws (NARAL - Asosiasi Nasional untuk Pencabutan Hukum Aborsi) yang didirikan di Amerika Serikat tahun 1968. Pengumpulan pendapat masyarakat mengatakan kalau kebanyakan masyarakat Amerika menentang aborsi yang dilegalkan. Tetapi dalam waktu 5 tahun, kami di NARAL berhasil meyakinkan Pengadilan Tinggi Amerika Serikat untuk mengeluarkan keputusan melegalkan aborsi di seluruh Amerika pada tahun 1973 dan boleh melakukan praktek aborsi setiap saat hingga kelahiran si bayi. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Sangat penting untuk dipahami, ini semua terjadi dengan taktik-taktik jitu yang telah digunakan dunia barat dengan mengubah statistik atau apa pun, supaya hukum aborsi dapat diubah.

TAKTIK PERTAMA ADALAH MERANGKUL MEDIA MASSA

Kami meyakinkan media massa bahwa aborsi yang dilegalkan adalah suatu kebebasan yang meringankan, sesuatu yang canggih. Kami tahu, jika dilakukan jajak pendapat, kami akan kalah, maka kami membuat angka-angka hasil jajak pendapat palsu. Kami katakan kalau kami telah melakukan pengumpulan pendapat dan hasilnya 60% dari masyarakat Amerika setuju dengan aborsi legal. Ini taktik menutup kebohongan diri sendiri. Sedikit orang yang mencoba melawan kami. Kami mendapat simpati sebagian masyarakat dan berhasil menjual program aborsi legal dengan memberikan data palsu tentang aborsi ilegal setiap tahun di Amerika Serikat. Angka sebenarnya hanya 100.000 kasus, tetapi angka itu kami ganti menjadi 1.000.000 dan kami berikan kepada media. Mengulang-ulang kebohongan sering menjadi sesuatu yang meyakinkan masyarakat. Angka wanita yang meninggal karena aborsi ilegal sebenarnya hanya 200-250 per tahunnya, tetapi kami mengatakan 10.000 jiwa per tahun. Angka-angka palsu ini terus menerus kami berikan sehingga masyarakat yakin untuk menyokong hukum aborsi legal. Cerita lain yang kami sodorkan pada media massa adalah bahwa dengan diberlakukannya aborsi yang legal, maka mereka yang menjalani aborsi ilegal kini menjadi legal. Yang terjadi, aborsi kini juga dipakai sebagai salah satu metode keluarga berencana di Amerika Serikat dan angka aborsi per tahunnya kini meningkat menjadi 1500% sejak diberlakukannya hukum aborsi legal.

TAKTIK KEDUA ADALAH MEMAINKAN KARTU GEREJA KATOLIK

Kami selalu menjelek-jelekkan Gereja Katolik dan "ide-ide sosial" mereka. Kami malah memfitnah petinggi Gereja Katolik sebagai penjahat penentang aborsi. Taktik ini kami mainkan terus menerus. Kami terus memberikan kebohongan pada media massa, kami katakan bahwa, "kita semua tahu, yang menentang aborsi adalah para petinggi Gereja Katolik, bukan ummat Katolik itu sendiri." Kami katakan juga bahwa, "Jajak pendapat membuktikan bahwa kebanyakan ummat Katolik menginginkan aborsi yang legal." Lalu, media terus menerus mendengungkan hal ini pada masyarakat AS, mengatakan bahwa mereka yang menentang aborsi pastilah dibawah pengaruh petinggi Gereja Katolik dan bahwa Gereja Katolik dalam hal aborsi sebenarnya memberikan penerangan jelas dan maju ke depan. Kesimpulan dari taktik ini adalah tidak ada satu group non-Katolik pun yang menentang aborsi. Kenyataan sebenarnya, ummat Kristen dan non-Kristen pun menentang (hingga kini) aborsi. Tetapi suara-suara mereka ditekan, juga suara mereka yang tidak mengakui Tuhan tetapi mencintai kehidupan.

TAKTIK KETIGA ADALAH MENYANGKAL DAN MENEKAN BUKTI-BUKTI ILMIAH YANG MENGATAKAN KEHIDUPAN DIMULAI SESAAT SETELAH PEMBUAHAN TERJADI

Banyak yang bertanya, "Apa yang membuat Anda berubah pikiran?" Bagaimana saya berubah dari seorang yang betul-betul pro-aborsi menjadi pejuang pro-kehidupan? Tahun 1973, saya menjadi Direktur Obstetrik di sebuah rumah sakit besar di New York City. Saya harus membangun unit riset pre-natal untuk memulai teknologi baru yang memungkinkan kita untuk setiap harinya mempelajari janin dalam kandungan. Taktik favorit seorang pro-aborsi adalah mengatakan bahwa kita tidak mengetahui kapan kehidupan terjadi, pertanyaan ini adalah sebuah pertanyaan teologi atau moral atau filosofi, atau apa saja, tetapi bukan sebuah pertanyaan ilmu pengetahuan. Ilmu tentang janin (foetology) membuat penyangkalan-penyangkalan diatas tak terbukti. Memang benar, kehidupan dimulai sesaat setelah terjadinya pembuahan. Kehidupan baru ini membutuhkan perlindungan dan pengawalan yang dinikmati oleh kita semua. Pasti Anda bertanya kenapa masih banyak dokter di AS yang ikut membangun Foetology masih saja melakukan aborsi? Ini pertanyaan aritmetika. Dengan US$ 300 sekali aborsi, 1,55 juta kasus aborsi berarti kira-kira US$ 500.000.000 per tahun, yang hampir keseluruhannya masuk ke dalam kantung si dokter - bukankah ini sebuah industri besar? Sudah jelas bahwa aborsi sebenarnya penghancuran secara sengaja sebuah kehidupan manusia. Tindakan kejahatan yang kejam. Memang, kehamilan yang tidak direncanakan adalah sebuah dilema yang sulit, tetapi untuk mencari jalan keluar terbaik dengan cara aborsi adalah sama dengan menghancurkan kepintaran manusia, dan menyerah pada pandangan umum yang sempit untuk menjawab masalah sosial.

SEBAGAI SEORANG ILMUWAN SAYA TAHU BAHWA KEHIDUPAN DIMULAI PADA SAAT TERJADINYA PEMBUAHAN

Meskipun saya bukanlah seorang pemeluk agama, tetapi saya percaya sepenuh hati bahwa memang ada kekuasaan Sang Pencipta yang menuntun kita untuk mengakhiri dan berbalik dari kejahatan yang sangat memalukan dan menyedihkan terhadap ummat manusia.

[Dr. Nathanson akhirnya memeluk agama Katolik pada tahun 1996]

diterjemahkan secara bebas dari situs New Advent