Sabtu, 12 Maret 2011

Kontrasepsi Gagal

"Kontrasepsi Gagal, Mengapa Mesti Aborsi ?"
(Belajar Dari Kematian Almarhumah Ny.Yuni Yudianto : Andik Wijaya, DMSH.)

Tentu tidak terbayangkan oleh keluarga Almarhumah Ny. Yuni Yudianto bahwa upaya medis yang mereka lakukan untuk “membereskan” masalah yang mereka hadapi berakhir dengan tragedi yang memilukan, sebagaimana diberitakan dalam Metropolis, Selasa,19 Juni 2001.

Kehamilan bagi sebagian besar pasangan suami-istri merupakan kebahagiaan besar, namun bagi sebagian diantara mereka merupakan kondisi yang mengerikan. Salah satu penyebab keadaan ini adalah ketidaksanggupan atau ketidakrelaan untuk menanggung konsekuensi dari kehamilan tersebut, tentu diantara penyebab itu adalah faktor kebutuhan hidup yang akan bertambah besar, apalagi di jaman yang serba sulit dan mahal seperti sekarang ini. Belum lagi kerepotan yang akan dialami oleh orang tua terutama istri dalam proses tumbuh kembang si anak. Karena itu, setiap kehamilan yang tidak direncanakan apakah itu terjadi pada pasangan suami-istri yang sudah resmi menikah ataupun bila itu terjadi pada remaja putri yang belum bersuami, perlu diberi perhatian yang serius dan diupayakan jalan keluar terbaik, agar beban tersebut tidak hanya ditimpakan pada yang mengalaminya, apalagi bila itu akibat kegagalan kontrasepsi.

Apakah menstrual regulation, bahasa yang sering digunakan untuk menghaluskan fakta aborsi, merupakan jalan keluar terbaik ?
Aborsi yang seringkali dipilih untuk menyelesaikan kehamilan yang tidak direncanakan memiliki berbagai resiko, yang kadang para pengguna jasa aborsi tidak sepenuhnya menyadari hal itu. Pertama adalah resiko fisik, terberat tentu adalah kematian sebagaimana dialami oleh Almarhumah Ny.Yuni Yudianto. Seberapapun probabilitasnya, resiko itu ada dan tidak mungkin ditiadakan sama sekali. Resiko fisik lain yang biasa terjadi adalah perdarahan, infeksi, bahkan kemandulan diwaktu mendatang. Kedua adalah resiko kejiwaan, dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Dr.Anne Catherine Speckard, dari Minnesota University, dalam kurun waktu lima sampai sepuluh tahun setelah terjadinya tindakan aborsi, para wanita yang menjalaninya akan mengalami berbagai masalah kejiwaan, dimana 81 persen melaporkan bahwa pikiranya senatiasa dipenuhi dengan anak yang digugurkannya. 73 persen melaporkan terjadinya kilas balik pengalaman aborsi dalam pikirannya. 54 persen mengatakan selalu mengalami mimpi buruk yang berhubungan dengan aborsi yang dijalaninya, dan 23 persen dari para pelaku aborsi tersebut mengalami halusinasi yang berhubungan dengan aborsi. Dan yang mengejutkan, dalam suatu pemikiran retrospeksi, 96 persen wanita yang pernah melakukan aborsi mengatakan bahwa aborsi yang mereka lakukan adalah pengambilan nyata anak mereka atau dengan kalimat yang lebih lugas, suatu tindakan pembunuhan. Benarkah aborsi suatu pembunuhan ?

Dunia medis dikenal dengan tradisi luhurnya. Salah satu tradisi luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi adalah sumpah yang pernah diucapkan oleh Hypocrates, Bapak Kedokteran Modern, dia mengatakan bahwa Seorang Dokter akan selalu menghormati kehidupan semenjak pembuahan. Kalimat ini, saat ini, selalu diucapkan oleh seorang dokter sebagi sumpah luhur ketika memulai profesi sebagai seorang dokter. Sumpah ini memiliki landasan scientific, ketika genetika modern berkembang dengan ditemukannya kromosom oleh Dr.James D. Watson. Dalam perspektif ilmiah, semenjak sperma bertemu dengan ovum terjadilah peleburan kromosom dari sperma dan ovum, sehingga kehidupan baru terbentuk semenjak saat itu. Dan bila proses multiplikasi serta diferensiasi yang terjadi semenjak saat itu tidak terganggu atau diganggu, maka pada waktunya individu baru yang diciptakan oleh Pencipta Kehidupan tersebut akan hadir ditengah-tengah dunia, untuk berkarya dan memberi manfaat bagi dirinya, orang tua serta keluarga, masyarakat, dunia, serta bagi Keagungan Penciptanya. Dengan pemahaman ini, sangatlah bisa dipahami mengapa 96 persen wanita yang pernah menjalani aborsi menyadari dengan nuraninya dan mengatakan bahwa aborsi adalah tindakan pembunuhan.

Kalau demikian halnya adakah pilihan yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah kehamilan yang tidak direncanakan ini ? Pencegahan itu lebih baik dari pada pengobatan, adalah semboyan klasik yang masih berlaku saat ini. Bagi remaja yang belum terikat dengan pernikahan, abstinensia, yaitu tidak melakukan hubungan seksual adalah pilihan terbaik. Apakah hal itu realistis, mengingat remaja hidup dalam jaman yang begitu longgar dengan norma-norma, dan meluapnya informasi berkaitan dengan seks yang seringkali menyesatkan ? Dalam penelitian yang dilaporkan oleh The Medical Institut for Sexual Health gerakan abstinensia di Amerika berhasil meningkatkan virginty 11 – 15 persen, sementara itu tingkat kehamilan remaja bisa diturunkan sampai 21 persen, semua hal ini menunjukan bahwa abstinensia sangat mungkin dilakuklan oleh remaja dan siapa saja yang belum menikah atau jauh dari pasangannya. Kalau remaja amerika yang dicap liberal saja bisa mengambil pilihan yang benar bagi hidup mereka, kenapa kita yang mengaku sebagai bangsa yang berbudaya, bahkan bangsa yang religius tidak bisa melakukan hal itu ? Bagi pasangan suami-istri, pilihlah kontrasepsi yang efektifitasnya tinggi dengan selalu berkonsultasi pada dokter yang ahli dibidang tersebut.

Namun bila tetap terjadi kehamilan juga, mengapa tidak mengingat filosofi jawa, yang mengatakan, “ Anak kuwi ngowo rejekine dhewe-dhewe “ Atau dalam bahasa Indonesia, Anak itu membawa berkatnya sendiri-sendiri. Burung-burung di udara yang tidak pernah menabur, atau menuai. atau menyimpan dalam lumbung saja, setiap saat diberi makan oleh Penciptanya, apalagi manusia, yang adalah Mahkota CiptaanNya. Karena itu mengapa harus takut dan kuwatir. Bila sebagai manusia kita telah berusaha namun gagal, percayalah bahwa ada maksut yang mulia dibalik semua yang terjadi dalam kerhidupan kita, bukankah Dia turut bekerja didalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi setiap manusia yang dikasihiNya? Kegagalan kontrasepsi yang telah dilakukan oleh pasangan suami-istri pasti membawa hikmat yang indah, karena itu jangan tergesa-gesa untuk mengaborsinya. Bila kenyataan hidup tidak memungkinkan untuk membesarkan anak yang sedang dikandung, kenapa tidak dipikirkan untuk mengadopsikan anak tersebut kepada pasangan yang kesulitan untuk mendapat keturunan, sebab saat ini ada sekitar 15 persen pasangan suami-istri yang dengan susah payah, dan tidak jarang menghabiskan biaya yang sangat besar untuk bisa mendapat kehamilan, dan tidak jarang usaha itu harus dihentikan karena keterbatasan biaya atau usia yang tidak memungkinkan lagi. Mereka ini akan sangat berbahagia bila “ dititipi “ anak-anak yang “tertolak” ini. Bukankah ini pilihan yang lebih baik yang akan membahagiakan semua orang ?

Kematian Almarhumah Ny.Yuni Yudianto, adalah pelajaran pahit bagi kita semua. Kita berharap keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan hidup olehNya. Dan setelah ini, jangan lagi ada aborsi, jangan lagi ada pembunuhan janin-janin yang tidak berdaya ini. Hormatilah kehidupan semenjak pembuahan.

(dari situs drawclinic.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar