Sabtu, 12 Maret 2011

Manusia Atau Bukan Manusia?



Manusia Atau Bukan Manusia?
Oleh Frederica Mattewes-Green

Frederica Mattewes-Green, pendiri Feminists for Life, adalah penulis dari buku-buku Real Women, Real Choices, dan sering menulis untuk beberapa majalah.

Debat aborsi selalu berakhir pada satu pertanyaan: apakah janin dapat dikategorikan sebagai manusia? Seseorang tidak dapat meyatakan dengan pasti, tetapi kelompok pendukung kehidupan menitik-beratkan kerugian aborsi pada kasus-kasus kelainan sosial yang ditimbulkannya. Sedangkan kelompok pendukung aborsi menyatakan bahwa apa yang diinginkan kelompok pendukung kehidupan adalah memberikan hukuman terhadap seorang wanita atas hubungan intim yang dilakukannya atau untuk mendapatkan cuti melahirkan bagi para wanita.

Bagaimanapun, jawaban “ya” atau “tidak” tidaklah menjadi soal, yang menjadi masalah adalah persoalan hidup dan mati. Dalam keputusan dari kasus sidang pengadilan antara Nona Roe yang diketahui menggugurkan kandungannya melawan Jaksa Penuntut Wade, Hakim Harry Blackmun menulis, “jika kita setuju untuk menyatakan janin yang masih dalam kandungan adalah seorang manusia, maka hak menggugurkan kandungan akan hancur dan si janin memiliki jaminan hak untuk hidup.” Tetapi, itulah masalahnya. Kemanusiaan si janin masih terus diperdebatkan.

Kelompok pendukung aborsi menyatakan bahwa janin adalah manusia dan mahluk hidup, tetapi ia belum menjadi bagian dari kita – belum benar-benar seorang manusia. Masalah ini memang sukar untuk dibuktikan baik secara logika maupun ilmiah dan dapat menyeret kita pada pola hak hidup mahluk lainnya, karena kita bisa mengatakan bahwa mereka bukan bagian dari kita. Marilah kita lihat beberapa alasan yang dilontarkan untuk menyatakan bahwa janin itu bukan seorang manusia.

Janin bukan manusia karena ukurannya begitu kecil
“Setiap alasan yang dilontarkan untuk dapat melakukan aborsi adalah sebuah alasan yang bagus untuk melakukan pembunuhan.” Kalimat ini menemukan kebenarannya disini. Ukuran/postur tubuh menjadi sangat relatif dalam kehidupan manusia. Janin usia 6 minggu sudah tentu lebih kecil dari bayi yang baru dilahirkan, dan kita bisa membandingkan ukuran seorang bayi yang baru lahir dengan si raksasa wresling, Hulk Hogan. Alasan ukuran adalah alasan yang paling banyak dipakai oleh mereka yang ingin melakukan aborsi, tetapi merupakan alasan yang paling tidak masuk akal. Orang yang berperawakan besar dapat dengan mudah melempar orang berpostur kecil. Karena kebanyakan wanita berukuran lebih kecil dari pria, maka inilah alasan pria untuk menghambat kemenangan wanita. Kita tahu, sudah banyak wanita yang mengalami kekejaman pria.

Janin bukan manusia karena saya tidak menginginkannya
Yang kita bicarakan disini adalah ketakutan dan ketidak-mampuan seorang wanita dalam menghadapi kehamilannya. “Saya tidak bisa berbuat apa-apa tanpa seorang pria yang mendampingi saya. Jika tidak seorang pun mengingini saya, saya adalah manusia yang tidak berguna.” Jika manfaat dari keberadaan seseorang bergantung pada seseorang yang lain, maka kita boleh dengan sekehendak hati meniadakan anak-anak, darah daging kita sendiri, yang tidak memberikan kebahagiaan bagi kita. Kegunaan seseorang itu diukur berdasarkan kecintaan seseorang, baik anak-anak, orang-orang berkulit hitam, wanita, penyandang cacat, dan mahluk hidup yang lainnya.

Janin bukan manusia karena belum memiliki rupa manusia
Pernyataan ini tidak benar. “Gumpalan darah” itu dengan cepat berubah bentuk, dan setiap janin yang digugurkan memiliki raut wajah, tangan, mata, jenis kelamin, dan jantung yang berdetak. Kalaupun ada sebuah metode yang dapat dipakai untuk menentukan rupa si janin, itu akan menjadi preseden buruk. Diskriminasi terhadap manusia karena dia “terlihat aneh” memiliki sejarah yang panjang dan tercela. Yang benar adalah, janin pada hari-hari pertama pembentukannya telah berujud manusia, meskipun belum sepenuhnya terlihat. Kita semua adalah “gumpalan darah” yang terus menerus berubah bentuk dari saat terjadinya pembuahan di rahim ibu kita hingga saat kematian kita nanti.

Janin bukan manusia karena akan lahir cacat
Teman-teman kita penyandang cacat mungkin akan gemetar mendengarnya. Jika kita mengetahui ketidak-normalan mereka sebelum mereka lahir, kita mungkin akan membuat mereka tidak terlahir ke dunia sehingga mereka tidak mengalami kehidupan yang jauh dari bahagia atau yang gelap karena kebutaan. Membunuh atas nama belas kasihan telah lama dijalankan dalam era yang kejam dan sentimentil ini. Kita menjadi seperti Scrooge – si tua yang serakah – yang suka akan kekuatan dan kesehatan dan yang melihat si lemah dan berpenyakitan sebagai sumber pencahariannya. Ingatlah, kita semua memiliki jasad yang hanya sementara dan setiap dari kita adalah calon-calon jenasah.

Janin bukan manusia karena nantinya dia akan mengalami siksaan
Penolakan terhadap kehamilan boleh dikatakan sebagai awal terjadinya kebenciaan saat bayi dilahirkan, meskipun si bayi tidak mengharapkan hal ini terjadi padanya. Secara kasar dapat dikatakan kehidupan anak yang mengalami siksaan sama seperti hidup para penyandang cacat – tidak ada gunanya, sama seperti korban-korban pemerkosaan dan istri-istri yang didera oleh suaminya - seharusnya mereka semua juga tidak perlu dilahirkan ke dunia. Saat siksaan hanya merupakan teori, seperti dalam kasus anak yang masih dalam kandungan, kita menghancurkan penegasan kekuatan si penyiksa dan mengesampingkan harapan dari mereka yang percaya bahwa masa lalu dapatlah dilupakan. Harapan bahwa aborsi dapat mencegah penyiksaan anak di kemudian hari telah dibuktikan salah oleh statistik. Statistik Amerika mencatat meskipun semua calon bayi digugurkan selama 19 tahun ke belakang, catatan mengenai penyiksaan anak melonjak hingga 500 %. Pembuangan anak juga terjadi setelah anak itu lahir.

Janin bukan manusia karena belum dapat merasakan apa-apa
Kesadaran dan kehati-hatian adalah sifat-sifat yang secara bertahap muncul dalam hidup seorang manusia normal. Hal-hal tersebut juga ada dalam janin. Kucing penjaga rumah memang lebih pintar berinteraksi daripada bayi usia satu bulan. Ada yang mengatakan usia kandungan 6 bulan sebagai awal dari janin memiliki kesadaran sekitarnya. Tetapi itu adalah sebuah konsep, karena potensi kemampuan seseorang selama hidupnya telah terjadi sejak saat pembuahan. Kita harus sadar bahwa kemampuan daya pikir seseorang sangatlah berbeda. Ada yang dapat berkembang secara wajar, ada yang secara perlahan seperti pada penderita cacat mental. Tetapi mereka yang disebut terakhir ini bisa menjadi bintang TV yang terkenal. Janin yang masih dalam kandungan hanya memiliki satu kekurangan, yaitu kesadaran, akan tetapi kesadaran seorang bayi terus menerus dipertajam hingga saat kelahirannya nanti. Untuk cepat-cepat membunuhnya sebelum dia mencapai perkembangan maksimum dari kesadarannya adalah sama dengan membunuh seorang penderita koma yang baru saja mendapatkan kesadarannya kembali tetapi belum dapat membuka matanya.

Janin bukan manusia karena belum memiliki jiwa
Meskipun tubuh seseorang mulai hidup saat sel sperma bertemu dengan sel telur, beberapa orang berkata bahwa dalam agama mereka, dipercaya bahwa jiwa ditanam kemudian. Ini juga menggambarkan kepercayaan ilmiah bahwa janin adalah bongkahan tak berdaya hingga saat kesadarannya timbul dan si calon ibu merasakan gerakannya. Jika para leluhur kita mempercayai janin itu bukanlah benda hidup, orang-orang dari jaman yang lebih maju menyatakan bahwa janin itu adalah benda hidup tanpa jiwa. Orang-orang yang beragama boleh saja mengikuti debat aborsi dengan segala argumentasinya, tetapi pendapat-pendapat seperti jiwa janin baru muncul setelah usia kehamilan 6 bulan, meninggal saat usia 48 tahun, atau jangan bekerja pada hari Rabu, tidaklah dapat dijadikan dasar hukum – khususnya sebagai alasan untuk membunuh. Tradisi-tradisi agama yang sangat dihormati seperti pengorbanan anak-anak atau melemparkan anak dara ke dalam gunung berapi seharusnya juga tidak termasuk dalam pengecualian hukum yang melindungi kehidupan.

Janin bukan manusia karena hidup didalam tubuh ibunya
Bayi yang masih dalam kandungan bukanlah bagian dari tubuh ibunya, hubungan yang terjalin bukanlah seperti seorang astronot yang berada dalam pesawat ulang alik. Kenyataan bahwa bayi memerlukan oksigen, makanan dan tempat yang nyaman dari tubuh ibunya bukanlah berarti mereka bukan manusia. Keduanya, baik si bayi atau pun si astronot adalah seperti seorang penyewa tempat. Memang, kehamilan dapat membawa ketidak enakan bagi seorang wanita, tetapi apakah seorang wanita memiliki hak untuk menampik “penyewa” yang tak diinginkannya? Situasinya mirip seperti saat seorang nahkoda kapal menemukan seorang penumpang gelap dalam kapalnya. Apakah ia akan membuang orang itu ke laut? Hal yang hilang dari analogi tersebut adalah janin tidak berada dalam tubuh ibunya karena kemauannya sendiri, tetapi karena diletakkan untuk menjadi hidup oleh perbuatan yang secara sadar diketahui oleh pihak pria dan wanita akan menimbulkan kemungkinan terjadinya kehamilan. Untuk para orang tua, melakukan hubungan intim haruslah dibarengi dengan kesadaran dan tanggungjawab akan kemungkinan terjadinya kehamilan (meskipun secara hat-hati telah dipakai kontrasepsi). Bahwa kehamilan yang mungkin dihasilkan akan memberatkan pihak wanita, karena mungkin saja si pria akan pergi dan lari dari tanggungjawab terhadap pihak wanita dan anaknya, bukan berarti si wanita dapat melakukan hal yang sama – melepas tanggungjawab dengan menggugurkan kandungannya. Pilihan-pilihan yang mengandung tanggungjawab yang besar, perhitungan yang matang, adalah pilihan-pilihan yang dapat membawa kita kepada lingkungan wanita dan anak-anak yang kuat, juga pria. Pilihan-pilihan yang ceroboh membuat kita semua merasa bersalah.

Abad ini telah mengajarkan pada kita, dalam banyak pelajaran berharga, bahwa adalah berbahaya untuk mempersepsikan janin sebagai bukan manusia. Merendahkan martabat janin, mencari-cari alasan yang tepat untuk aborsi, mengganti istilah aborsi demi untuk melakukannya, membuang bayi dalam kandungan, sepertinya sudah menjalar keluar dari cincin-cincin kebijaksanaan. Saat seorang wanita setuju untuk mengatakan bahwa bayi yang dikandungnya bukanlah seorang manusia sebagai alasan ia dapat diterima di lingkungan masyarakatnya, maka banyak hal yang dipertaruhkannya. Sebaiknya kita bersama-sama memeriksa keberadaan kita, perasaan kita, keinginan kita – kita tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar